Empat pemuda di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, baru-baru ini terlibat dalam kasus pengeroyokan yang melibatkan tindak kekerasan terhadap seorang pria berusia 24 tahun. Sebagai ganti hukuman penjara, mereka dijatuhi sanksi untuk membersihkan gereja selama dua bulan, sebuah langkah yang mencerminkan pendekatan baru dalam penanganan kasus kejahatan.
Keputusan ini mencerminkan upaya untuk menyelesaikan perkara melalui mekanisme restorative justice (RJ), yang semakin populer di Indonesia. Dengan pendekatan ini, para pelaku dilibatkan dalam proses pemulihan, yang tidak hanya menekankan hukuman bagi pelaku, tetapi juga memulihkan hubungan sosial di masyarakat.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Didik Farkhan Alisyahdi, mengungkapkan bahwa sanksi ini diberikan setelah memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020. Dalam konteks ini, RJ berfungsi tidak hanya untuk menghentikan proses hukum, tetapi juga untuk menegakkan rasa keadilan di masyarakat.
Pentingnya Restorative Justice dalam Penanganan Kasus Kekerasan
Restorative justice merupakan pendekatan yang bertujuan untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana. Dalam konteks kasus ini, para pelaku berkesempatan untuk memperbaiki kesalahan mereka secara langsung di hadapan masyarakat. Hal ini diharapkan dapat mendorong mereka untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka dan mencegah kejadian serupa di masa depan.
Dengan menerapkan RJ, diharapkan proses hukum tidak hanya berfokus pada penghukuman, tetapi juga pada rehabilitasi pelaku. Langkah ini bertujuan untuk menciptakan ruang bagi dialog antar pihak yang terlibat dan memulihkan hubungan, yang pada akhirnya dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat.
Pembelajaran dan rekonsiliasi menjadi prinsip utama dalam RJ. Dalam kasus ini, sifat kerja sama antara pelaku dan korban didorong untuk menciptakan dampak sosial yang lebih luas, terutama dalam memperbaiki citra pelaku di mata masyarakat.
Kasus dan Proses Hukum yang Dijalani
Keempat pemuda tersebut, yang berinisial DLA, GHP, YTR, dan YPD, semuanya berusia antara 18 hingga 19 tahun. Mereka menghadapi ancaman pidana yang tidak lebih dari lima tahun dan tidak memiliki catatan kejahatan sebelumnya, sehingga memenuhi kriteria untuk mendapatkan RJ. Proses hukum yang mereka jalani berlangsung dengan melibatkan keluarga, tokoh masyarakat, dan tokoh agama sebagai saksi saat mediasi berlangsung.
Salah satu faktor yang mendukung pelaksanaan RJ adalah adanya perdamaian yang dicapai antara pelaku dan korban, yang diakui oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses tersebut. Hal ini menunjukkan potensi penyelesaian konflik yang lebih humanis, berorientasi kepada rekonsiliasi, ketimbang hanya sekadar hukuman.
Penghentian penuntutan oleh Kejaksaan Tinggi menjadi langkah positif yang diharapkan mampu memberikan efek jera bagi pelaku, sembari mendorong mereka untuk memperbaiki diri. Melalui sanksi sosial yang diterapkan, diharapkan pelaku menyadari dampak perbuatannya dan bisa berkontribusi kembali ke masyarakat.
Efek Jera dan Tanggung Jawab Sosial di Masyarakat
Sanksi membersihkan gereja selama dua bulan diharapkan tidak hanya menjadi hukuman, tetapi juga kesempatan bagi pelaku untuk berinteraksi dengan anggota komunitas. Hal ini berfungsi untuk memperbaiki hubungan antara mereka dan masyarakat yang mungkin telah terganggu akibat tindakan kekerasan mereka.
Dengan memberikan tindakan sosial sebagai bentuk hukuman, diharapkan para pelaku dapat memahami pentingnya tanggung jawab sosial dan dampak negatif dari tindakan mereka. Pendekatan ini juga menekankan pentingnya menciptakan lingkungan yang aman bagi semua warga, dusta peran masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban.
Melalui upaya-outreach seperti ini, diharapkan masyarakat dapat berperan aktif dalam proses pemulihan pelaku, serta mengurangi stigma negatif yang mungkin melekat. Ini adalah langkah maju menuju pengembangan karakter positif di kalangan generasi muda, agar mereka dapat berkontribusi lebih baik di masa depan.
